Seminar: Gereja dan Pelayanan
Pendidikan Di Huria Kristen Indonesia (HKI)
Oleh Ampu Supriadi
Hutasoit, STh
I.
Pendahuluan
Gereja hadir di tengah-tengah dunia untuk
menyampaikan Kerajaan Allah. Gereja itu dimateraikan oleh Roh Kudus yang
memberikan kekuatan untuk melaksanakan tugas panggilannya. Gereja yang dikenal
adalah ketika gereja menjalankan Tritugas gereja (Marturia, Koinonia, Diakonia).
Tugas panggilan itu menjadi cerminan bahwa tanggungjawab gereja adalah untuk
melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan tritugas itu. Namun, masih ada orang
yang tidak tahu bahwa apakah maksud dari Tritugas itu. Bahkan Gereja hanya
digambarkan pada pelaksanaan ritual-ritualnya (bersifat rohani). Sementara
bedasarkan Amanat Agung dan juga pelayanan Yesus sebenarnya Gereja harus terpanggil
untuk menjawab pergumulan dunia ini.
Sama halnya dengan masalah kebodohan, mengapa bodoh?
Jika jemaat bodoh apakah gereja diam saja? Atau asal bodoh tapi rajin beribadah.
Di sinilah gereja hadir menjadi “garam dan terang” itu sehingga nyata menghadirkan
syalom ini bukan hanya menobatkan orang lain tetapi mengajari. HKI hadir untuk
menjawab pergumulan dunia disekitarnya. Sehingga tidak lain lagi HKI berperan
dalam pendidikan agar ingin memberantas kebodohan itu. Sehingga bagaimanakah
Pendidikan di HKI, bagaimanakah hadirnya pendidikan di HKI itu. Untuk lebih
jelasnya, pada kesempatan ini kita akan membahas “Gereja dan Pelayanan
Pendidikan di HKI”.
II.
Pembahasan
2.1.Pengertian Gereja
Gereja berasal
bahasa Yunani “ekklesia” yaitu eks (keluar) dan klesia (dipanggil)sebagai kata
kerja kalein yang artinya memanggil, memilih. Maka gereja adalah orang-orang
yang dipanggil dari kegelapan menuju terang Kristus.[1]
Dengan kata lain
Gereja adalah persekutuan orang-orang percaya kepada Yesus Kristus[2].
Jadi gereja adalah orang-orang yang percaya bersekutu dalam Yesus Kristus.
2.2.Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah usaha yang dijalankan dengan
sengaja, teratur, dan berencana dengan maksud untuk mengubah tingkah laku
manusia kea rah yang diinginkan.[3] Tujuan
pendidikan di mana pun yang terpenting adalah mengembangkan seluruh potensi
yang ada pada manusia peserta didik itu. Artinya setiap insan manusia tentu
mempunyai potensi untuk berkembang sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaannya. Karena manusia itu tidak saja terdiri dari tubuh atau jasmani
saja, tetapi juga mental dan spiritual (rohani). Jadi tugas pendidikan itu
ialah untuk mengembangkan kemampuan manusia dalam seluruh aspek kemanusiaannya
itu. Dan sebagai manusia maka peserta didik itu bukanlah “tanah liat” yang
dapat dibentuk semaunya tetapi manusia yang berpribadi. Jadi pendidikan itu
ialah “human centered” memperhatikan
peserta didik untuk perkembangannya sendiri sesuai dengan potensi atau
kemampuannya sesuai dengan minat dan sesuai dengan kejiwaannya.[4]
2.3.Pendidikan Presfektif
Alkitab
Dalam Perjanjian Lama, nenek moyang bangsa Israel,
Abraham, Ishak, dan Yakub menjadi guru bagi seluruh keluarganya. Sebagai
bapak-bapak dari bangsanya, mereka bukan hanya menjadi satu iman yang merupakan
pengantara antara Tuhan yang membawa berkat kepada Israel secara turun-temurun.
Di Israel segala sesuatu yang harus saling membantu dan bekerjasama untuk
mendidik anak-anak dan orang dewasa menjadi anggota persekutuan agama itu.
Pendidikan lebih bersifat agama namun disamping itu anak-anak Israel yang
laki-laki juga diajari keahlian-keahlian seperti membuat bangunan,
ukiran-ukiran dan bagi perempuan bersifat feminis seperti bertenun, memasak dan
juga diajari nanti menjadi istri yang baik. Pendidikan di Israel di mulai dari
rumah tangga dan seterusnya meneriam pengajaran taurat di ahli-ahli taurat.[5]
Orangtua dalam PL ditekankan untuk dapat mengajar dan mendidik anak-anaknya
kepada jalan yang dikehendaki Tuhan, sebaliknya orangtua yang mengabaikan tugas
dan tanggung jawabnya untuk mengajar dan mendidik anak-anaknya, maka anak
tersebut akan menjadi jahat dan bebal (Ams. 15:32; band.Ef.4:14).[6]
Sedangkan dalam Perjanjian Baru, dua kata kerja yang
dipakai mengaku kepada “pendidikan” atau mengenal yaitu ginoskein dan eidenai (Mat.
1:25; Luk. 1;34). Demikian Paulus, mengenal (mengetahui) Allah dan Kristus yang
sejati adalah hubungan yang dinamis, hubungan yang dinamis, hubungan yang alami
yang harus diekpresikan dalam agape-mengasihi sesama manusia (1 Kor. 8:1).
Dalam 1 Korintus 13, gnosis (pengetahuan)
ditempatkan di bawah agape karena tanpa agape pengetahuan tak berguna. Jadi
pengetahuan didasarkan atas kasih dan menuju pada tindakan yang benar (Flp.
1:9). Sama halnya dengan Yohanes tetap berpegang pada pendirian “barangsiapa
tidak mengasihi ia tidak mengenal Allah” (1 Yoh. 4:8). Jadi untuk bertumbuh
dalam pengetahuan yang benar dihadapan Allah dan menyenangkan Dia dalam segala
hal, dan segala perbuatan baik (Kol.1:10).[7]
2.4.Konteks Pendidikan
Sebelum datangnya Injil Di Tanah Batak[8]
Sebelum orang Batak berjumpa dengan Injil, mereka
sudah memiliki sistem pendidikan, yang disebut dengan sistem pendidikan
tradisional. Pendidikan tradisional ini mengandung dan mencakup ketiga komponen
sebagai berikut:
1. Nilai-nilai,
antara lain nilai-nilai dan pranata keagamaan antara lain diperlihatkan oleh
sistem kepercayaan Batak kuno yang berpusat pada Debata Mula Jadi nabolon, dan
jabatan malim, budaya/adat, moral, dan sosial (termasuk di dalamnya cita-cita
“3 H”hamoraon, hagabeon, dan hasangapon, nilai anak terkait dengan “3H”),
sebagaimana terungkap lewat frase “anakhonhido Hasangapon di Ahu” dan sistem
tantanan sosial “Dalihan Na Tolu”.
2. Pengetahuan,
antara lain bahasa (termasuk aksara, tulis-baca, sastra), hukum (adanya Raja
Patik), tata hitung (aritmatik), geografi (termasuk sistem mata angin), tata
hitung waktu (antara lain kalender bulanan dan tahunan, serta pembagian waktu
dalam sehari), ramuan obat-obatan yang umumnya bergandengan dengan ilmu magic
yang dikuasai oleh datu (dalam rangka
pemeliharaan kesehatan dan kehidupan ataupun dalam rangka mencelakakan orang
lain), arsitektur (rumah batak yang mempunyai makna dan nilai) dan penataan
lingkungan hidup (seperti halnya pembangunan huta).
3. Keterampilan,
antara lain di bidang pertenunan, pertanian (mengolah sawah ladang dan berbagai
tumbuhan), peternakan, pandai besi (untuk membuat berbagai peralatan hidup
sesehari maupun persenjataan termasuk tukkot
Tunggal Panaluan), palayaran (termasuk beranekaragam jenis perahu/sulo), music dan nyanyian (berbagai uning-uningan, gondang sabangunan) dan
sebagainya.
Dari berbagai jenis nilai, pengetahuan, dan keterampilan
yang sudah dikenal oleh orang Batak yang merupakan proses pendidikan
tradisional yang bersifat komprehensif. Artinya di dalamnya tercakup ketiga
kategori isi pokok pendidikan yakni nilai-nilai yang bersifat afektif,
pengetahuan yang bersifat kognitif, dan keterampilan yang bersifat psikomotorik.
Tentu kategorisasi ini bersifat fleksibel dan saling mendukung.
2.5.Munculnya Pelayanan
Pendidikan di Tanah Batak Setelah Masuknya Injil
Ketika para penginjil/missionaris Barat (terutama
Jerman) datang, mereka tidak hanya memberitakann Injil dan membawa nilai-nilai
religius kristiani melainkan pengetahuan, keterampilan dan peradaban barat yang
menurut keyakinan mereka sudah diresapi dan dicirikan oleh Injil atau
kekristenan. Transfer nilai-nilai, pengetahuan, dan keterampilan itu terutama
mereka lalukan melalui usaha (kegiatan dan sarana) pendidikan. Bahkan bagi
mereka usaha dan jerih payah mereka adalah dalam rangka melaksanakan pendidikan
(Erziehung) dalam arti
seluas-luasnya. Untuk itu sarana yang paling efektif adalah persekolahan. Itu
sebabnya pembentukan sebuah jemaat selalu berbarengan dengan pembangunan
sekolah. Dengan kata lain: gereja dan sekolah merupakan satu kesatuan, sehingga
para pelayan gereja (pendeta, guru huria, evangelis, Biblebrouw bahkan
sintua/penatua) juga merangkap sebagai guru sekolah. Kegiatan dan sarana
persekolahan tidak hanya disediakan bagi anak-anak dan anak muda melainkan juga
kaum tua (sering berlangsung pada malam hari).[9]
Pemberitaan Injil tak terlepas dari penanaman
nilai-nilai, pengetahuan, keterampilan, dan peradaban barat, namun sejak
awalnya para penginjil Barat itu menghargai dan menggunakan komponen-komponen
dari sistem pendidikan Batak tradisional untuk menunjang usaha penginjilan dan
pendidikan/persekolahannya. Misalnya;bahasa, aksara, dan sastra Batak,
tatakrama (partuturan), serta perlengkapan dan peralatan hidup sehari-hari
sejauh hal-hal itu dinilai tidak mengandung kekafiran (hasipelebeguon)[10]. Bahkan
sejak akhir abad ke-19 para Zending memberi dorongan kepada guru-guru pribumi
untuk menggali mengembangkan kekayaan budaya Batak untuk kemudian diberi tempat
dalam pendidikan yanh dibangun. Sehingga zending.Batakmission
melakukan sayembara untuk tulisan-tulisan terbaik dikalangan pribumi batak
dan dipublikasikan dalam majalah Immanuel
yang terbit tahun 1890 dalam bentuk buku-buku kecil. Pemerintah Kolonial
Hindia belanda sangat berperan mendukung pendidikan. Dukungan Hidia Belanda
melalui BatakMission mengembangkan sistem pendidikan formal pada tahun 1860-an
sehingga harus tunduk terhadap belanda agar usaha pendidikan Batakmission
mendapat subsidi melanjut ke sekolah pemerintah atau diterima bekerja di
instansi pemerintah[11].
Manfaat yang dirasakan masyarakat Batak dari
kedatangan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang menyangkut pendidikan atau
persekolahan. Disamping memberi subsidi dan supervisi kepada sekolah-sekolah
zending (termasuk batakmission) yang memenuhi syarat (dari pendidikan dasar
hingga pendidikan menengah kejuruan maupun umum). Pemerintah colonial juga
membangun sistem dan jaringan persekolahan yang menjadi acuan bagi
pendidikan/persekolahan zending. Maka seluruh pelosok tanah Batak, terutama di
lingkungan Batak-Toba, berdirilah banyak sekolah zending bersubsidi, ditambah
dengan beberapa sekolah pemerintah dengan berbagai jenjang dan kategori antara
lain:[12]
1. Sekolah
Dasar: mulai dari sekolah Desa (Volkschool)
3 tahun, sekolah lanjutan (Vervolgschool)
2 tahun, sekolah sambungan (Schakelshool)
2 tahun, sampai ke Sekolah Dasar berbahasa Belanda (HIS, Hollands Inlandse School) dan sekolah kerajinan/kepandaian (Meisjesschool) 3 tahun (lanjutan dari
Volkschool).
2. Sekolah
Menengah Kejuruan; mulai dari sekolah Guru (Normaalshool)
3-4 tahun yang menyatu dengan Seminare (Sikkola
Guru Huria), Sekolah Tukang (Ambachtshool),
sekolah Pertanian (Landbouwschool),
Sekolah Dagang kecil (Kleinhandschool),
Kursus/sekolah Perawat (Verplegercursusschool)[13].
3. Sekolah
Menengah Umum Tingkat Pertama yaitu lanjutan HIS berbahasa Belanda yaitu MULO
(Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) untuk member kesempatan kepada putera-puteri
Batak melanjut ke sekolah menengah umum dan kejuruan (AMS, Kweekschool, Middelbare Techinshe School, Artsenschool)yang ada
diluar tanah Batak bahkan sampai ke perguruan tinggi yang mulai didirikan sejak
1920.
2.6.Perkembangan Pendidikan
Gereja Batak
Penting diketahui bahwa nantinya bangkitnya
nasionalisme Indonesia dipengaruhi perkembangan
yang menunjang yaitu kebijakan Kolonial yang baru yakni politik etis
Belanda. Dalam hubungannya poliik etis yaitu pendidikan pribumi.[14]
Sekolah-sekolah di Tanah Batak yang berhasil didirikan adalah Pansur Napitu dan
Sekolah Guru Pribumi (STOVIL) yanag sudah member sumbangan tulisan dalam
majalah seperti Bentara Hindia, Tjahaja
Sijang dan Penghentar.
Tulisan-tulisan mereka hanyalah menyangkut beberapa kenyataan yang sederhana;
peran para penginjil Barat sering dibicarakan tentang sejarah. Namun
tulisan-tulisann itu boleh dianggap sebagai latihan menulis untuk karya yang
lebih mandiri di tahap kemudian. Pada abad ke-20 ketika Gereja Batak
menerbitkan majalah Immanuel[15],
sudah dilihat bahwa sudah ada orang-orang Batak yang baru melek huruf.
Tahun 1950-an orang-orang Batak sudah mampu menulis sudah terkenal dengan
tulisan-tulisannya baik mengenai adat-istiadat, berita-berita kejadian dalam
negeri dan luar negeri.[16]
Pada tanggal 2-4 Juli 1918, HKB mengadakan kongres
ke II di Balige, dalam kongres ini juga dihadiri oleh wakil-wakil Serikat Islam
(di Sibolga) dan Insulinde[17]
(Pematang Siantar) serta dihadiri juga oleh tiga pejabat Belanda diantaranya
ialah Asisten residen di Tapanuli Utara dan Contreliur di Balige. Dalam kongres
ini, HKB mendapat keputusan yakni : 1) menolak consessie-jagers, 2) menghapuskan rodi yang terkutuk, 3) mengurangi
belasting (pajak), dan 4) pembentukan
dewan gereja. Dan dalam kongres ini juga mencanangkan akan segera menerbitkan
satu surat kabar untuk sarana penunjang perjuangannya. Itulah nanti yang akan
terkenal dalam sejarah lokal dan nasional sebagai surat kabar Soera Batak.[18]
Dalam sejarah bangsa Indonesia sejak
merdeka,sejumlah tokoh pendidikan nasional dari kalangan Kristen Batak antara
lain: Prof.Dr.T.S. Gunung Mulia Harahap (pernah menjadi menteri pendidikan), Prof.Dr.J.Hutasoit
(Menteri Muda). Disamping mereka, tak terbilang jumlah tokoh-tokoh pedidikan
dari kalangan Batak Kristen di lingkungan pendidikan hingga perguruan tinggi,
yang masih berkiprah masa laku maupun sampai saat ini.[19]
Pada tahun 1954 HKBP mendirikan Universitas yakni
UHN (universitas HKBP Nomensen) yang merupakan universitas Kristen tertua di
Indonesia (kira-kira bersamaan dengan UKI). Kemudian HKBP mendirikan Fakultas
Teologi sebelum dipisahkan menjadi STT (tahun 1979) karena kualitas dosen dan
lulusannya yang handal. Demikian juga berbagai sekolah (SD s/d SMU/SMK) selain
di HKBP, digereja Batak lainnya (HKI, Gereja Mission Batak, GKPI, GKPS, GBKP,
GKPA dan lain-lain).[20]
2.7.Sejarah Huria Kristen
Indonesia (HKI)
Cikal bakal lahirnya HKI berawal dari sikap
konfrontatif revolusioner Sutan Malu yang nama aslinya Frederik Panggabean.
Nama Sutan adalah pemberian ayah angkat Frederik Panggabean, seorang Melayu
yang perkaranya menang dibela sang pengacara , yaitu Frederik Panggaben
sendiri. Sedangkan nama Malu, juga diberikan oleh ayah angkatnya karena
Frederik menyatakan kepada ayah angkatnya bahwa dalam membela perkara tersebut
dalam pengadilan, dia malu bila kalah dan dia juga menolak untuk kawin dengan
puteri sulung bapak angkatnya karena masalah
pindah agama. Oleh karena itu, ayah angkatnya
memberi nama Sutan Malu. Sutan Malu sendiri adalah jebolan dari seminari
Sipaholon bentukan Nommensen. Setelah
menyelesaikan pendidikannya, beliau melamar pekerjaan kepada pihak RMG, kemudian
dia diterima dan ditempatkan menjadi guru sekolah dan sekaligus menjadi guru
agama di Silando-Paranginan pada tahun 1909. Pada tahun 1910, dia meninggalkan
pekerjaannya sebagai guru. [21]
Sutan Malu meninggalkan Tapanuli dan pergi ke Batubara di Asahan. Dia di sana
diterima menjadi guru di sekolah gubernemen.
Tidak lama kemudian ia dipindahkan menjadi kepala sekolah di desa Bangun Purba
di Tanah Karo. Pada tahun 1911, beliau dipindahkan dengan jabatan yang tetap di
daerah Deli, Tebing Tinggi. Pada tahun 1919, dia berhenti dari masa kerjanya
dan tinggal di kampungnya di Pantoan,
Pematangsiantar.[22] Sutan Malu meninggalkan
pekerjaannya demi mencari pekerjaan di pemerintahan Simalungun, akhirnya Sutan
Malu pernah menjadi pengacara, penghulu, kepala kampung dan di kantor-kantor
pemerintahan. Pada
tahun 1920-1925 Frederik diangkat menjadi kepala kampung di Pantoan.
Ketika Sutan Malu
tinggal di Siantar, pada bulan Mei 1925 ia mengumpulkan orang-orang Batak
Kristen dan membentuk suatu persekutuan yang aktif. Ia melaporkan hal itu
kepada pendeta zending RMG agar jemaatnya diakui sebagai jemaat cabang dari
jemaat induk RMG di Pematangsiantar. Akan tetapi selama dua tahun hal itu tidak
digubris, Sehingga didirikan sebuah gereja baru di Pantoan, Pematangsiantar
yang disebut dengan Huria Christen Batak (HChB). Jadi sebenarnya Sutan Malu
adalah kritikator RMG yang dinilainya eksklusif dalam warna werternisasi dan
ketidaktransparannya dalam soal keuangan. Artinya arah perjuangan HChB
berkaitan erat dengan cita-cita pengakuan atas orang Batak dalam mendapat
tempat dan pengakuan dalam pelayanan dan kemandirian gereja. Sutan Malu pernah
menulis dalam majalah Immanuel tentang kedudukan orang Batak terhadap RMG tetapi
jawabannya mengecewakan, yakni tung so
baenan do gabe pangula di RMG halak na mansungkun songoni. Di Siantar,
Sutan Malu juga mempertanyakan soal arah dan kebijakan keuangan RMG yang
seharusnya transparansi kepada Pdt. Warneck sebaagi Ephorus zending Jerman,
tetapi jawabannya tetap mengecewakan, yani : ndang marhak so anggota manangkasi parhepengon ni RMG, dan Warneck
menambahkan bahwa manang ise na manimbil
sian RMG, dung so manjalo pasu-pasu sian Tuhan Jesus.
Pada tanggal 1 April 1927 Sutan Malu Panggabean
melayangkan surat kepada pemerintah Simalungun yang berkedudukan di
Pematangsiantar dan tembusan kepada Ephorus Johannes Werneck untuk
memberitahukan bahwa : “Mulai ari 1 Mei
1927 ndang campur Rhynsche Zending, manang RMG tu ahu dohot na olo rap dohot
ahu, jongjong sandiri nama hami” (bahwa mulai 1 Mei 1927 tidak ada lagi
hubungan RMG dengan saya, beserta kawan-kawan seperjuangan, kami akan berdiri
sendiri dalam urusan kegerejaan).[23]
Dengan adanya surat pemberitahuan ini, pemerintah Belanda memanggil Sutan Malu
penggabean untuk menghadap pemerintah di rumah asisten residen di
Pematangsiantar, pada tanggal 30 April 1927 yang dihadiri oleh residen dari
Simalungun, hadir juga residen dari Bogor dan advisieur insaken dari Batavia
bernama Tuan Gobe. Tujuan dan maksud Sutan Malu mendirikan suatu gereja adalah
berdasar dari Yakobus 1:22 “Alai gabe
siulahon hata ma hamu unang holan pananginangi, angka napaotootohon dirina doi”
(tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku Firman, bukan hanya pendengar saja, jika
tidak demikian kamu menipu dirimu sendiri). Dari penuturan yang disampaikan
oleh Sutan Malu tentang maksud dan tujuan pendirian HChB kepada pemerintah
tentang tidak adanya lagi hubungan RMG dengan HChB adalah untuk mempertegas
keberadaan HChB itu sendiri yang mana berdiri sendiri sejak 1 Mei 1927[24]
di Pantoan, dan sekaligus ketua HChB yang pertama adalah Frederik Panggabean.
Keluarnya Belsit No. 29 27 Mei 1933 di mana
pemerintah kolonial Belanda mengakui dan menjamin HChB dalam badan hokum dengan menyerahkan Rechtpersoon,
dan Belsit no 17 6 Juli 1933 mengenai wewenang melaksanakan sakramen.
Keberanian Sutan Malu menantang RMG yang ekslusif itu ternyata merangsang
kemandirian dari gereja-gereja sekitar untuk mandiri yakni lepas dari
intervensi RMG, termasuk HKBP yang memperoleh kemandiriannya tahun 1929. HChB
sendiri dalam derap awalnya banyak mendapat tantangan dan ejekan, apalagi HChB
menerima setiap anggota gereja yang dibuang dan disisikan dari gereja RMG yang
terkena siasat gereja. Perjuangan HChB
untuk berdiri sarat dengan semangat nasionalisme dan kemandirian yang sifatnya
dalam bentuk kesukuan. Pada saat kondisi bangsa yang masih dijajah Belanda dan
kondisi kehidupan gerejawi didominasi oleh zending Jerman, maka putra-putri
Batak telah menyuarakan agar warga Batak juga diberi peran yang luas untuk
menata kehidupan kerohanian. Dalam bahasa Jenderal T. B. Simatupang, mantan
kepala Staf Angkatan Perang (1949-1954) bahwa HChB berdiri sebagai perjuangan
nasionalisme Kristen Batak di mana timbul kesadaran untuk memikul tanggung
jawab yang lebih dalam di dalam kehidupan kegerejaan yang waktu itu didominasi
pimpinan pendeta Jerman, sedangkan orang Batak hanya dapat sebagai pembantu.[25]
Pada masa pemerintahan Belanda telah dikeluarkan
peraturan “seorangpun tidak dapat melayangkan
sakramen apabila tidak seorang pendeta dan pendeta tersebutpun harus memiliki
surat keterangan izin (Bijzindere Foelating) dari pihak Belanda ”.
Siapa yang melanggar akan mendapat hukuman yang sangat keras, itulah sebabnya
tidak ada yang berani melayangkan sakramen jikalau bukan dari pendeta RMG yang
mengantongi Bijzindere Foelating. Tahun
1933, Pdt. Willi Sinaga yang mengantongi Bijzindere
Foelating tidak terpilih menjadi pimpinan jemaat Hoeria Batak/RMG di Medan,
kemudian bergabung dengan HChB. Tahun 1934 Sutan Malu beserta beberapa guru
jemaat yang berlatar belakang pendidikan seminari sipaholon ditahbiskan menjadi
pendeta oleh Pdt. Willi Sinaga.[26]
Maka tanggal 16-17 November 1946 dilakukan sinode
HChB dan memutuskan nama HChB berubah menjadi HKI. Hal ini adalah sebagai penyesuaian dengan keadaan politis
di mana dirasakan bahwa HChB yang pertama berdiri sendiri sebaiknya nama HChB
diperluas sesuai dengan konteksnya, sehingga HChB diperluas menjadi HKI. Dalam
sinode yang terdiri dari 241 jemaat peserta, 64 jemaat tidak menyetujui
keputusan itu dan mengaku setia kepada Sutan Malu Panggabean dan tetap pada
HChB. Hingga akhirnya Sutan Malu mengubah nama HChB menjadi GKB (Gereja Kristen
Batak) dan diakui pemerintah RI secara sah sebagai kesinambungan HChB. Jadi
sampai matinya Sutan Malu tidaklah pernah menjadi HKI.[27]
2.8.Gereja HKI Sebagai
Pelayanan Pendidikan
Dalam sejarah HKI pendiri HKI Frederik Sutan Malu
Panggabean adalah salah seorang lulusan dari Sekolah Guru Seminari Sipaholon
tahun 1909. Setelah menyelesaikan pendidikannya, beliau melamar pekerjaan
kepada pihak RMG, kemudian dia diterima dan ditempatkan menjadi guru sekolah
dan sekaligus menjadi guru agama di Silando-Paranginan pada tahun 1909. Pada
tahun 1910, dia meninggalkan pekerjaannya sebagai guru. Selain itu juga tokoh
HKI lainnya, pada tahun 1903, M. H. Manullang telah memasuki sekolah SAR. Pada
tahun 1905, dia dipecat dari SAR karena ia mengajak teman-temannya yaitu Gaius
Sihite, dan Imanuel Siregar untuk melakukan pemogokan, yang kemudian mereka
mengarahkan seluruh siswa untuk melakukan pemogokan sekolah tersebut. Hal ini
dilakukan karena petinggi zending telah bertindak semena-mena dan sepihak
merombak program SAR yang mereka harapkan akan membawa kemajuan yang besar bagi
orang Batak.[28]
Pada tahun 1907, M. H. Manullang dan kedua temannya pergi ke Singapura dan
masuk pendidikan misi di sana. M. H. Manullang memasuki sekolah misi Methodis,
yaitu Methodist Senior Cambridge School
(MSCS) dan ia berkonsentrasi pada bidang guru bahasa Inggris. Sementara
kedua temannya memasuki Seventh Day
Adventist (SDA).[29]
Sebagian besar warga HKI pada awalnya adalah orang
buta huruf. Sehubungan dengan itu untuk mendukung pertumbuhan dan pelayanan
jemaat, pimpinan pusat HCHB tidak melupakan pelayanan bidang pendidikan. sejak
tahun 1933 HCHB berusaha mengumpulkan pondasi pendidikan dengan menjual
obligasi kepada anggotanya. Obligasi itu akan dikembalikan dari uang iuran dan
uang sekolah dari murid-murid. Kemudian karena usaha ini tidak lancar cara
tersebut diganti dengan pendirian HCHB otonom di setiap daerah. Itu sebabnya
berdiri jemaat HCHB selalu bersamaan dengan pembukaan sekolah untuk
mempersiapkan tenaga pelayanan jemaat dan guru jemaat (Voornganger) dan tenaga pengajar. Untuk usaha itu dibukalah sekolah
guru tahun 1933 di Sosorladang Porsea.[30]
Pendidikan yang diselenggarakan HCHB juga
berorientasi untuk membina warga jemaat dan upaya mereka mempersiapkan diri
menyongsong masa depan yang penuh harapan. Pendidikan untuk membebaskan
masyarakat dari kebodohan sangat penting, karena pada zaman colonial dan awal
kemerdekaan Indonesia pendidikan masih minim dan orang yang bersekolah pada
umumnya berasal dari keluarga berada dan anak pejabat. Akibatnya banyak orang
Batak yang tidak ditampung di sekolah. HCHB sangat jeli melihat kebutuhan warga
jemaat dalam bidang pendidikan. untuk itu sejumlah daerah seperti Tarutung,
Sibolga, Pematang Siantar dan Aceh Tenggara dibangun sekolah HCHB. Salah
seorang yang pernah pengecap pendidikan di sekolah HCHB, Sabam Sirait mengaku
bahwa bahasa Ingris yang dimilikinya adalah hasil pendidikan di sekolah HCHB di
Pematang Siantar.[31]
Usaha
pelayanan pendidikan HCHB juga bertujuan untuk menunjukkan di setiap jemaat.
Karena anak-anak anggota jemaat HCHB tidak diterima menjadi murid di
sekolah-sekolah zending dan mendapat ejekan dari murid-murid di sekolah di
zending akhirnya mendorong HCHB mendirikan sekolah (setingkat SD empat tahun).
Awalnya mereka memanfaatkan gedung gereja untuk belajar. HCHB tidak peduli
apabila sekolah mereka disebut sebagai wilde
School (sekolah liar) dan tidak mempunyai fasilitas selengkap sekolah
zending. Yang penting bagi mereka adalah anak-anak mereka terdidik, tahu
membaca- menulis, dapat mengikuti perkembangan zaman dan kelak dapat memasuki
tingkatan sekolah lebih tinggi setelah tamat dari HCHB tersebut. Didorong oleh
semangat yang kuat, jemaat-jemaat mulai mendirikan gedung sekolah dan membiayai
sendiri tenaga pengajar. Tenaga-tenaga pendidk kebanyakan berasal dari anggota
jemaat HCHB setempat. Inilah yang menjadi cikal-bakal lembaga-lembaga
pendidikan yang dikelola oeh HCHB.[32]
Dibawah ini beberapa sekolah yang penuh dikelola
HCHB misalnya:
1. Sekolah
pimpinan Guru (SPG) mulai tahun 1933 sebagai tempat mendidik para calon guru
huria dan guru agama sekolah (belajar 2 tahun) dan guru umum (belajar 4 tahun)
dan pendeta (belajar 6 tahun) di Sosorladang Huta Nagodang Porsea.
2. Bible
Ondervjs Institut (BOI) mulai tahun 1935 sebagai tempat mendidik tenga guru dan
pendeta di Pantoan.
3. Sekolah-sekolah
Desa (sekolah rendah) HCHB di Patane-Porsea, Muara, Hutasoit Pardomuan
(Siborong-borong), Siparendean, Tarutung, Kolang, Amborgang, Dairi, Paranginan,
Sibuntuon-Lintong Ni Huta, Nagasaribu, Lawetua-Aceh Tenggara, Batu Nadua,
Sigotom Paratusan, Palombuan, Harianja, Sinaga-Simatupang, Sarulla.
Pada umumnya jemaat-jemaat HCHB lahir di desa-desa
terpendil di mana tempat tersebut belum ada sekolah, naik sekolah pemerintah
maupun sekolah yang dibangun oleh zending. Hal itujugalah yang mendorong
pimpinan HCHB mendirikan sekolah-sekolah di desa seperti di Pantoan, Sinangap
Baris, dll. HCHB sangat memperhatikan kemampuan ekonomi warga gerejanya
sehingga biaya.
2.9.Perkembangan Pendidikan
di Huria Kristen Indonesia (HKI)
Setelah perubahan HChB menjadi HKI, sekolah-sekolah
ikut beralih menjadi sekolah-sekolah HKI yang walaupun tidak sekaligus tetapi
akhirnya semua sekolah-sekolah HChB menjadi sekolah HKI. Sama seperti pada masa
HChB demikian masa HKI khususnya di zaman kemerdekaan RI banyak daris
ekolah-sekolah tersebut terpaksa tutup karena tidak sanggup bersaing dengan
sekolah-sekolah yang ada di sekitar jemaat tersebut (baik sekolah negeri maupun
swasta lainnya).[33]
Tetapi ada juga beberapa jemaat HKI bertahan meneruskan sekolah di jemaatnya,
bahkan mengembangkannya dengan mendirikan sekolah-sekolah lanjutan. Menurut
data Almanak HKI 1955[34];
1. Di
jemaat HKI Pematang Siantar telah ada Sekolah Guru Atas (SGA), Sekolah Menengah
Atas (SMA), Sekolah Guru Bawah (SGB), Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP),
Sekolah Menengah Pertama(SMP), Kursus Bahasa Inggris-Indonesia, selain SR 6
tahun, SR latihan.
2. Di
jemaat HKI Tarutung telah mengasuh: SMA, SGB, SGA, SMP, SMEP, selain SR 6
tahun, SR latihan.
3. Dijemaat
HKI Porsea ada SGB, tetapi SRnya tidak
ada lagi.
4. Di
jemaat HKI Tanah Jawa ada: SGB, SMP, tetapi tidak ada lagi SR-nya.
5. Di
jemaat HKI Muara ada:SGB tetapi tidak ada lagi SR-nya.
6. Di
jemaat HKI Sipahutar (Siperendean) ada: SGB, SMEP, SMP, selain SR.
7. Di
jemaat HKI Kolang ada: SGB, SMP, selain SR.
8. Di
jemaat HKI KotaCane ada: SGB, SMP, dan SR.
Menurut Almanak HKI tahun 1961,[35]
di jemaat HKI Tarutung sekolah-sekolah tersebut di atas masih berjalan terus
dan ditambah lagi dengan Sekolah Teknik. Tetapi sekolah yang ada dipematang
Siantar hanya tinggal SR 6 tahun (yang lain sudah tutup). SR 6 tahun yang ada
di HKI Pulo Siborna masih tetap berjalan (hingga sekarang). Di HKI Manik Rambung
ada SR, demikian juga di HKI Kampung Dame, Gempolan, Kampung Durian, Hutanauli,
Pekan Kamis, Kampung juhar, Kilometer 12 Tebing Tinggi, di HKI tanah Jawa ada
SMP, di HKI Bah Halat ada SR 6 tahun, di Resort Tiga Dolok Balata hanya tinggal
SR 6 tahun, di HKI Gunung Maria dan HKI sionggang, tetapi semuanya itu telah
tutup. Di daerah Aceh Tenggara hanya tinggal SR 6 tahun di Lawetua, dan
didirikan SR 6 tahun di HKI Lawe Deski dan HKI kuta tengah, SMP yang dikelola
HKI Kolang masih bertahan, tetapi SGB yang disana sudah tutup. Jemaat HKI yang
mendirikan sekolah di jemaat kemudian adalah HKI percut mendirikan SD, HKI
Panosan mendirikan SD, HKI Kampung Asuhan stadion mendirikan SD, kemudian SMP
tahun 1979 tetapi kemudian tutup tahun 1994. HKI Pangkalan Batuatas mendirikan
SD sebagaiSD HKI Siborna. Tahun 1972 Pucuk Pimpinan HKI mendirikan PGAKP di
Pematang Siantar dan dapat meluluskan murid-muridnya sebelum tutup tahun 1985
dan dengan menggunakan gedug sekolah ini juga didirikan satu SMP tahun 1985
tetapi kemudian tutup pada tahun 1989. Perguruan HKI di Siborna mendirikan SMP
dan SMA (1987) tetapi SMA ini kemudian tutup taun 1990.
Perkembangan di atas menunjukkan bahwa jemaat-jemaat
HKI mempunyai semangat yang kuat untuk menyelenggarakan pelayanan di bidang
pendidikan. Meskipun kemudian hanya beberapa jemaat yang dapat mempertahankan
penyelenggaraan pendidikan SD, SMP, SLTP, dan SLTA. Banyak faktor yang dapat
dicatat mengapa sekolah-sekolah yang pernah didirikan HKI menjadi tutu. Selain
dengan peraturan pemerintah yang tidak mengizinkan penyelenggaraan jenis
sekolah (seperti PGAKP, SMEP, ST, dan SPG), faktor pengelolaan dan
pengorganisasian, pendanaan, yang lemah menjdi faktor penyebab ditutupnya
sekolah-sekolah tersebut. Lemahnya pendanaan juga disebabkan oleh karena hanya
jemaat setempatlah yang mengelola dan mendanai kegiatan sekolah dan menolak
campur tangan pusat. Alkibatnya, sekolah-sekolah itu tidak perbah mendapat
bantuan dari pusat. Dalam prose situ perhatian pusat pun untuk pelayanan ini
sungguh sangat rendah. Kelemahan dana menjadi akibat tersendatnya pembayaran
gaji guru/tenaga pengajar. Perlahan-lahan juga sekolah-sekolah yang didirikan
HKI kalah bersaing dengan sekolah pemerintah dan swasta “bonafit” lainnya.
Keadaan ini mengakibatkan berkurangnya murid yang mendaftar di sekolah-sekolah
tersebut dan akhirya sekolah itupun tutup.[36]
Adapun sekolah-sekolah yang masih bertahan hidup,
karena kebanyakan hampir semua mendapat subsidi dari pemerintah berupa gaji
pengajar, kemudian tenaga tersebut diangkat menjadi pegawai negeri yang
berkerja disekolah-sekolah tersebut. Jadi hingga sampai saat ini, sekolah yang
dikelola HKI menurut Almanak HKI tahun 2014[37]:
Nama dan Alamat Sekolah
Perguruan HKI
Nama Sekolah Kepala
Sekolah
1. SD
HKI No.1 bersubsidi,Permatang Siantar N.
br Simanjuntak
2. SD
HKI No.2 bersubsidi, Simarimbun K.br.
Silalahi
3. SD
HKI No.3 bersubsidi, Kampung Asuhan M.br.Manurung
4. SD
HKI bersubsidi, Pulo Siborna Br.Dabukke
5. SMP
HKI disamakan,Pulo Siborna K.Parhusip
6. SMP
HKI Siparendean A. Simanjuntak S.Pd
7. SMP
HKI bersubsidi, Pahae Jae/Sarulla
S. Hutagalung
8. SMK
HKI bersubsidi, Pahae Jae/Sarulla H.
Panggabean, S.Pd
9. TK
HKI Bengkong Indah Batam Duma Siahaan A.MPd
10. SD
HKI Bengkong Indah Batam D. Nadapdap, Spd
11. SD
1 YP HKI Tarutung Kota Royal Ompungsunggu, SPAK
12. SD
2 YP HKI Tarutung Kota Edison Silaban, SPd
13. SMU
YP HKI Tarutung Kota Poltak
Hutagalung, BA
14. SMK
YP HKI Tarutung Kota Tungkot Siringo-ringo
15. TK
PAUD/TK Diakonia HKI Sigalingging St.
A.Purba, AMd.Pd
16. PAUD
HKI Amborgang Pdt. Harianja, MDiv
17. PAUD
HKI Pulo Siborna Darwin Siahaaan M.M
18. PAUD
HKI Hariara Pdt. Adventus Nadapdap, S.Th
19. PAUD
HKI Sialuompu Pdt.Godman Tampubolon, M.Th
20. PAUD
HKI Tiban Pdt.
Efendy Nadeak, STh
21. PAUD
HKI Kp.Asuhan Pdt.Rita
Siregar, S.Th
22. PAUD
HKI Angel, Balige Pdt.Togar
Aruan STh
2.10.
Analisa
Penyaji
Berdirinya jemaat HCHB selalu bersamaan dengan
pembukaan sekolah untuk mempersiapkan tenaga pelayanan jemaat dan guru jemaat (Voornganger) dan tenaga pengajar. Untuk
usaha itu dibukalah sekolah guru tahun 1933 di Sosorladang Porsea. Jikalau
dianalisa bahwa pendidikan di HKI lahir dari kesadaran warga HKI itu sendiri
yang ingin melihat perkembangan kedepan dan masa depan. Dan konteks sejarah HKI
yang juga merupakan perdebatan akan kehadirannya bahwa anak-anak HKI tidak
diterima di sekolah-sekolah zending. Bahkan ada juga ejekan-ejekan dari luar
bahwa HKI adalah “liar”. Ternyata kedasaran itu timbul sendiri dari
keinginan-keinginan Jemaat HKI untuk mendirikan sekolah-sekolah baik tingkat
bawah dan juga tingkat atas. Setiap jemaat-jemaat di HKI itu memiliki pola
pikir yang maju karena jikalau dilihat bahwa adapun sekolah-sekolah yang
berdiri itu dan berkembang sampai saat ini bukan hasil dari pucuk pimpinan
tetapi sekolah-sekolah itu bahkan di biayai oleh mereka-mereka yaitu warga
jemaat yang peduli dengan lingkungan.
Tetapi bukan kesadaran warga itu yang membuat HKI
membuka pelayanan Pendidikan tetapi sebelumnya gereja HKI setelah berdiri sudah
mendirikan sekolah-sekolah yang menunjang pada pelayan-pelayan gereja dan
calon-calon pendeta. HKI dengan semangat bersama dengan warganya ikut dalam
pelayanan pendidikan. karena Jikalau di analisa ternyata para warga tidak mau
lagi larut dalam kebodohan dan semangat itulah yang membuat HKI untuk tidak mau
diperbudak kebodohan. Namun, dalam perkembangannya bahwa dahulunya HKI banyak
mendirikan sekolah-sekolah atau tempat belajar di setiap distrik tetapi oleh
karena minimnya dana bahkan dana HKI tidak ada karena sebenarnya yang
bertanggungjawab atas itu adalah kesadaran warga HKI itu yang membiayai tenaga
pengajar. HKI yang pada saat itu masih belum kuat dalam dana ataupun daya
sehingga itulah alasan kemungkinan sekolah-sekolah HKI banyak yang tutup. Ada pun
sekolah-sekolah HKI yang sisa itu pun karena mendapat subsidi dari pemerintah
dan mendapat dukungan dari pusat.
III.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan adalah suatu cara untuk mengembangkan
seluruh potensi yang ada pada manusia peserta didik itu. Artinya setiap insan
manusia tentu mempunyai potensi untuk berkembang sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaannya. Karena manusia itu tidak saja terdiri dari tubuh atau
jasmani saja, tetapi juga mental dan spiritual (rohani). Jadi tugas pendidikan
itu ialah untuk mengembangkan kemampuan manusia dalam seluruh aspek
kemanusiaannya itu. Dan sebagai manusia maka peserta didik itu bukanlah “tanah
liat” yang dapat dibentuk semaunya tetapi manusia yang berpribadi. Sebagai
gereja HKI yang diutus ditengah-tengah dunia gereja HKI melakukan tugas dan
tanggungjawabnya untuk memenuhi panggilan itu. HKI berperan dalam pendidikan
dalam konteks pergumulan warganya, yang pada dasarnya adalah bergumulan intern
setelah lahirnya HCHB (HKI). Sehingga boleh dikatakan bahwa HKI selama berdiri
membutuhkan baik dana maupun terlebih-lebih daya sehingga HKI mau tidak mau
harus memberikan dirinya untuk mengajar dan membentuk pelayan-pelayan HKI yang
nantinya meneruskan tugas panggilannya.
Sehingga pada akhirnya HKI dengan usahanya itu
dibukalah sekolah guru tahun 1933 di Sosorladang Porsea. Pendidikan yang
diselenggarakan HCHB juga berorientasi untuk membina warga jemaat dan upaya
mereka mempersiapkan diri menyongsong masa depan yang penuh harapan. Pendidikan
untuk membebaskan masyarakat dari kebodohan sangat penting, karena pada zaman
colonial dan awal kemerdekaan Indonesia pendidikan masih minim dan orang yang
bersekolah pada umumnya berasal dari keluarga berada dan anak pejabat. HCHB
sangat jeli melihat kebutuhan warga jemaat dalam bidang pendidikan. Sehingga
pada akhirnya dibukua sekolah di sejumlah daerah seperti Tarutung, Sibolga,
Pematang Siantar dan Aceh Tenggara dibangun sekolah HCHB. Dan pada perkembangan
berikutnya oleh-oleh persoalan dana, sekolah HKI pada akhirnya ada yang tutup
dan kemudian oleh karena kesadaran warganya akan pentingnya pendidikan di HKI
sehingga di sebagian daerah jemaat HKI dibangun sekolah-sekolah bertaraf SD,
SMp, maupun tingkat SLTA. Dan mulai tahun 1990-an banyak sekolah HKI yang tutup
dan juga sebagian daerah membuka sekolah-sekolah lebih bertaraf sekolah dasar
seperti PAUD, SD.
IV.
Daftar
Pustaka
Aritonang,
Jan S., Belajar Memahami Sejarah di
Tengah Realitas, Bandung: Jurnal Info Media, 2007
Groome,
Thomas H., Christian Religious Education,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010
Hoekema
,A.G., Berpikir Dalam Keseimbangan Yang
Dinamis, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997
Hombrighausen,
E.G.& I.H.Eklaar, Pendidikan Kristen,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004
Lamp,
Walter, Benih Yang Tumbuh XII, Jakarta
: Lembaga Penelitian dan Studi DGI, 1976
Lumbantobing, Darwin, Teologi di Pasar Bebas, Pematang Siantar: L-SAPA,2007
Ngelow,
Zakaria J., Kekristenan Dan Nasionalisme,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994
Oftestad, Alf B., Membangun Gereja yang Diakonal, Pematang Siantar: Percetakan HKBP,
2004
Samosir,
M. A. E., Bentuk Huria Kristen (HKI) :
Suatu Tinjuan Historis-Teologis Pada Masa Periode 1927-1988
Sihombing,
P. T. D., Tuan Manullang (Pendeta
Mangaradja Hezekiel Manullang : Pahlawan Perintis Kemerdekaan Bangsa Indonesia
dan Pelopor Semangat Kemandirian Gereja di Tanah Batak 1887-1979
Silitonga,
Ewen Josua, dalam Materi Untuk Penyambutan Angkatan 2010 PMT HKI Medan, Bukit
Lawang, 18 September 2010
Simatupang,
Maurits, Mencari Keseimbangan, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1994
Simatupang,
T. B., Kehadiran Kristen Dalam Perang,
Revolusi, dan Pembangunan : Berjuang Mengamalkan Pancasila Dalam Terang Iman, Jakarta
: BPK Gunung Mulia, 1995
Sirait,
Sabam, Meniti Demokrasi Indonesia, Jakarta:
Q Communication, 2006
Sitorus,
T. J., dkk, Sejarah Huria Kristen (HKI)
Sejak Masa Pendahuluan 1927 s/d Keutuhan Bulat 1976, Pematang Siantar :
Kolportase HKI, 1978
Situmorang,
Jontor, “Aku Mau Menjadi Imam dalam
Keluargaku” dalam Jurnal Tabernakel STT Abdi Sabda Medan Edisi XVII,
Januari-Juni 2007
Sumber
Lain:
Almanak
HKI tahun 1955
Almanak
HKI tahun 1961
Almanak
HKI tahun 2014
[1] Alf B. Oftestad, Membangun
Gereja yang Diakonal, (Pematang Siantar: Percetakan HKBP, 2004), 140
[2] Darwin Lumbantobing, Teologi di
Pasar Bebas, (Pematang Siantar: L-SAPA,2007),381
[3] Jan S. Aritonang, Belajar Memahami Sejarah si Tengah Realitas (Bandung:
Jurnal Info Media, 2007), 225
[4] Maurits Simatupang, Mencari Keseimbangan (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1994), 458
[5] E.G.Hombrighausen
& I.H.Eklaar, Pendidikan Kristen (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2004), 3-4
[6] Jontor Situmorang, “Aku Mau Menjadi Imam dalam Keluargaku” dalam
Jurnal Tabernakel STT Abdi Sabda Medan Edisi XVII, Januari-Juni 2007, 30
[7] Thomas H. Groome, Christian Religious Education (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2010), 208-209
[8] Jan S. Aritonang, Belajar Memahami Sejarah si Tengah Realitas,
226
[9] Ibid, 226
[10] Para penginjil Barat
menciptakan sebuah Istilah Batak: sipelebegu,
yang sebelumnya tidak dikenal oleh orang batak, Karena pada hakekatnya
orang Batak dengan sistem agama kunonya tidak menyembah begu, melainkan Debata
Mulajadi Nabolon dengan berbagai derivasinya. Tondi orang mati juga dipuja dan disembah tetapi setelah tondi itu
naik pangkat menjadi sumangot, sehingga
masuk ke dalam lingkungan sombaon.(Ibid, 227)
[11] Ibid, 227
[12] Ibid, 228-229
[13] Kursus/sekolah
perawat (kursus bidan) ini diselenggarakan sejak 1903 (dimulai di Tarutung
selanjutnya meluas ke balige, samosir, sedikkalang dan sebagainya). Terutama BatakMission mengembangkan usaha di
bidang kesehatan, antara lain dalam rangka pengobatan oleh para datu dan persalinan oleh para Sibaso (Ibid, 228)
[14] Zakaria J.Ngelow, Kekristenan Dan Nasionalisme (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1994), 43
[15] Imanuel
[16] Maurits Simatupang, Mencari Keseimbangan, 378
[17] Insulinde adalah nama
yang kemudian hari diambil partai multirasial “Indische Parti”, yang didirikan
oleh E. F. E. Douwes Dekker, yang adalah
seorang keturunan Belanda. Lih. M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 170
[18] P. T. D. Sihombing, Tuan Manullang (Pendeta Mangaradja Hezekiel
Manullang : Pahlawan Perintis Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan Pelopor Semangat
Kemandirian Gereja di Tanah Batak 1887-1979), 193
[19] Jan S. Aritonang, Belajar Memahami Sejarah si Tengah Realitas,
231
[20] Ibid, 230
[21] T. J. Sitorus, dkk, Sejarah Huria Kristen (HKI) Sejak Masa
Pendahuluan 1927 s/d Keutuhan Bulat 1976 (Pematang Siantar : Kolportase
HKI, 1978), 21
[22] M. A. E. Samosir, Bentuk Huria Kristen (HKI) : Suatu Tinjuan
Historis-Teologis Pada Masa Periode 1927-1988, 15
[23] Walter Lamp, Benih Yang Tumbuh XII (Jakarta : Lembaga
Penelitian dan Studi DGI, 1976), 109
[24] Tanggal 1 Mei 1927
adalah ibadah pertama jemaat HChB di rumah Sutan Malu Panggabean dan pada
tanggal inilah ditetapkan berdirinya HChB.
[25] T. B. Simatupang, Kehadiran Kristen Dalam Perang, Revolusi,
dan Pembangunan : Berjuang Mengamalkan Pancasila Dalam Terang Iman (Jakarta
: BPK GUNUNG MULIA, 1995), 25-26
[26] Ewen Josua Silitonga
S. Th dalam Materi Untuk Penyambutan Angkatan 2010 PMT HKI Medan, Bukit Lawang,
18 September 2010
[27] P. T. D. Sihombing, Tuan Manullang (Pendeta Mangaradja Hezekiel
Manullang : Pahlawan Perintis Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan Pelopor Semangat
Kemandirian Gereja di Tanah Batak 1887-1979) Albert Orem Ministry Kerja
Sama Dengan Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan, 2008, 129
[29] Ibid, 104-122
[30] T.J.Sitorus, Sejarah Huria Kristen Indonesia Sejak Masa
Pendahuluan 1927 s/d Keutuhan Blulat 1976, 181
[31] Sabam Sirait, Meniti Demokrasi Indonesia (Jakarta: Q
Communication, 2006), 24
[32] Ibid, 26
[33] T.J.Sitorus, Sejarah Huria Kristen Indonesia Sejak Masa Pendahuluan
1927 s/d Keutuhan Bulat 1976, 160
[34] Almanak HKI tahun
1955
[35] Almanak HKI tahun
1961
[36] T.J. Sitorus, Sejarah Huria Kristen Indonesia Sejak Masa
Pendahuluan 1927 s/d Keutuhan Blulat 1976, 162
[37] Almanak HKI tahun
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar